Estimated reading time: 8 minutes
Read the Bahasa Indonesia version here
- Indonesia has one of the largest per-capita micro-, small-, and medium-sized enterprise (MSMEs) in the world.
- However, they enjoy limited integration in global markets.
- Some government initiatives are underway to improve accessibility for MSMEs.
With 64 million MSMEs, spanning from agriculture to essential services, these businesses constitute 60.5% of Indonesian GDP and employ 97.0% of the workforce.
However, their interaction with global markets is limited: MSMEs account for just 14% of Indonesia’s total exports. Similarly, just 4.2% of Indonesian MSMEs are integrated into the global supply chain – compared with 24.6% in Vietnam. How is Indonesia’s trade finance ecosystem putting barriers in place for MSMEs, and what solutions can address financing gaps?
The trade finance gap: and opportunities
Since they have limited access to formal credit, access to trade financing remains one of the most significant challenges for Indonesian MSMEs. Only 27.4% of MSMEs have access to bank loans or credit lines, while 66% rely on internal resources (savings, reinvesting profits, trade credit from suppliers, and even short-term loans from friends and family) for financing. Micro- and small-sized enterprises are particularly underserved, receiving just 30% and 24% of total MSME loans, respectively, compared to 46% for medium-sized enterprises.
State-owned enterprise (SOE) banks, despite their mandate, allocate only 26% of their lending portfolios to MSMEs, which is insufficient to drive significant MSME growth. Indonesia’s support for MSMEs lags behind OECD countries, limiting the sector’s ability to innovate and expand, particularly into lucrative international markets.
The financing gap is driven in part by a lack of creditworthiness, where banks hesitate to lend due to insufficient credit histories. But it is compounded by information asymmetry, where inconsistent or unavailable data makes it difficult to assess risk accurately. Additionally, many MSMEs lack the assets required for traditional loans, and collateral requirements are cumbersome.
Finally, an under-explored barrier is the risk of fraud and duplication: multiple loan applications for the same transaction raise lender risk.
Government initiatives: reforming the financial ecosystem
Reforms brought in September 2024 by Indonesia’s financial regulator, RPOJK (Rancangan Peraturan OJK) eliminated the mandate requiring banks to allocate 30% of their portfolios to MSMEs, providing flexibility for financial institutions to create tailored loan products. This change aims to boost credit access without rigid thresholds.
In August 2024, Teten Masduki, Minister of Cooperatives and SMEs, introduced new financing schemes in collaboration with OJK and the Finance Ministry. Key elements included relaxed collateral requirements, fintech integration with banks to develop innovative products, and guarantee programs to mitigate risks for riskier MSMEs.
The forecast is positive for MSMEs. By 2025, OJK will introduce new regulations to simplify loan approval processes for MSMEs, removing procedural bottlenecks and improving financial inclusion.
The government is also promoting digital transformation through initiatives like the KADIN CIPTA platform, which leverages blockchain-based identities and enhanced data management to improve credit access. Efforts are underway to boost MSME participation in FTAs (Free Trade Agreements) and CEPAs (Comprehensive Economic Partnership Agreements).
The Indonesian government has also made broader efforts to expand the tax base while delivering more focused support for small businesses. rolled out a 0.5% tax rate for businesses generating up to 4.5 billion Rupiah (Rp) ($295,000) annually to alleviate financial burdens and encourage MSMEs to formalise their operations. However, regulatory hurdles such as complex administrative processes, rigid local content requirements, and stringent compliance standards remain significant barriers, making it difficult for many small businesses to access formal financing and credit. Recognising these challenges, the government is now streamlining local content requirements and other policies to help MSMEs scale up and integrate into global value chains, especially in the manufacturing sector.
Challenges and emerging solutions in trade finance
The Indonesia trade finance ecosystem faces challenges beyond capital access:
- Inefficiencies in traditional, manual financing processes delay transactions.
- A lack of transparency increases the chances of multiple financing requests for the same trade activity – the aforementioned fraud and duplication risks.
- Limited digital literacy among MSME owners and their workforce creates hesitance, which is exacerbated by limited financial resources. This makes investment in digital infrastructure, such as software and training, difficult. In short, MSMEs still rely on traditional business models and perceive digital transformation as complex or unnecessary for their target market.
Some solutions are emerging to address these challenges. The government is looking to implement centralised registry systems for trade finance requests, preventing duplicates. In markets where such solutions are implemented, banks report reduced fraud risks and streamlined loan processing: transparency in ecosystems will foster trust. Also, altering supply chain finance models to focus on cash flow rather than assets would unlock working capital for MSMEs through trade receivables.
On the technology side, partnerships between banks and fintech would leverage blockchain, AI, and digital verification to enhance credit scoring. Private sector developments must go hand in hand with public investment, and the Indonesian government has launched multiple initiatives to modernise the industrial sector. Namely, the Go Digital campaign and Making Indonesia 4.0 focus on integrating digital tools in MSMEs to enhance competitiveness and productivity.
Indonesia is poised for transformative growth in its trade sector, backed by innovative solutions and government reforms. Now that companies can build solutions tailored for Indonesia, MSMEs are set to thrive in a more transparent and inclusive trade finance ecosystem.
Enhanced liquidity and access to finance are required to support the opportunity – but evidently, with the right mix of regulatory frameworks, technology, and financial collaboration, Indonesia has the potential to lead Southeast Asia in trade finance innovation, unlocking sustainable growth for its MSMEs.
Pembiayaan Perdagangan di Indonesia: Mendorong Pertumbuhan dan Inklusivitas
Dengan jumlah 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai sektor, mulai dari pertanian hingga jasa, Indonesia mencatatkan salah satu angka per kapita usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terbesar di dunia. UMKM ini berkontribusi sebesar 60,5% terhadap GDP Indonesia dan menyerap 97% angkatan kerja Indonesia.
Namun, keterlibatan UMKM Indonesia dalam pasar global masih terbatas.
Kontribusi UMKM terhadap keseluruhan ekspor Indonesia hanya sekitar 14%. Dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 24,6%, hanya 4,2% UMKM Indonesia yang terintegrasi dalam rantai pasokan global.
Apa saja hambatan dalam ekosistem pembiayaan perdagangan yang dihadapi UMKM di Indonesia, dan solusi apa yang dapat mengatasi kesenjangan ini?
Kesenjangan Pembiayaan Perdagangan dan Peluangnya
Salah satu tantangan utama yang dihadapi UMKM di Indonesia adalah terbatasnya akses terhadap pembiayaan kredit secara formal. Hanya sekitar 27,4% UMKM memiliki akses ke pinjaman atau kredit bank, sementara sisanya, yaitu 66%, mengandalkan sumber daya internal seperti tabungan, reinvestasi keuntungan, kredit dari pemasok, dan pinjaman dari keluarga atau teman.
Usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan kelompok yang paling terbatas untuk mendapatkan akses pembiayaan, dengan hanya memperoleh 30% dan 24% dari jumlah pinjaman untuk UMKM, sedangkan usaha menengah mendapatkan sekitar 46%.
Meskipun para bank yang termasuk dalam BUMN memiliki mandat untuk mendukung UMKM, hanya 26% dari portofolio pinjaman mereka dialokasikan untuk sektor ini. Angka ini belum cukup untuk mendorong pertumbuhan yang signifikan bagi UMKM. Dibandingkan dengan negara-negara anggota OECD, dukungan yang diberikan kepada UMKM Indonesia masih tertinggal. Hal ini membatasi kemampuan sektor UMKM untuk berinovasi dan memperluas jangkauannya, terutama dalam pasar internasional.
Selain rendahnya kelayakan kredit dan data yang tidak memadai, masalah asimetri informasi juga menjadi penghalang besar. Bank kesulitan dalam menilai risiko UMKM secara akurat sehingga ragu ketika akan memberikan pinjaman. Terlebih lagi, sebagian besar UMKM tidak memiliki aset yang memadai untuk memenuhi persyaratan pinjaman tradisional. Persyaratan agunan pun cukup rumit dan tidak praktis.
Terakhir, risiko penipuan dan pengajuan pinjaman ganda menambah kompleksitas dalam proses pemberian pinjaman.
Inisiatif Pemerintah dalam Mereformasi Ekosistem Keuangan
Pada bulan September 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) yang menghapuskan kewajiban bagi bank untuk mengalokasikan 30% portofolio mereka untuk UMKM. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas kepada lembaga keuangan untuk mengembangkan produk pinjaman yang lebih sesuai dengan kebutuhan UMKM. Tujuan utama dari perubahan ini adalah untuk meningkatkan akses kredit tanpa limitasi.
Pada bulan Agustus 2024, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Teten Masduki, meluncurkan skema pembiayaan baru yang melibatkan OJK dan Kementerian Keuangan. Inisiatif ini mencakup pelonggaran persyaratan agunan, integrasi teknologi finansial (fintech) dengan perbankan untuk menciptakan produk inovatif, serta program penjaminan yang mengurangi risiko bagi UMKM dengan profil risiko tinggi.
Proyeksi pertumbuhan bagi UMKM terlihat menjanjikan. Menjelang 2025, OJK berencana untuk mengeluarkan regulasi yang akan menyederhanakan proses persetujuan pinjaman UMKM, menghilangkan hambatan prosedural, serta meningkatkan inklusi keuangan di sektor ini.
Pemerintah juga mendorong transformasi digital melalui platform KADIN CIPTA berbasis blockchain untuk meningkatkan akses kredit dan memperluas partisipasi UMKM dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA).
Di samping itu, pemerintah Indonesia juga telah memperluas basis pajak dengan mengeluarkan tarif pajak sebesar 0,5% bagi usaha dengan pendapatan tahunan hingga 4,5 miliar Rupiah (US$ 295.000) untuk meringankan beban ekonomi dan mendorong UMKM sehingga dapat menjadi usaha yang terdaftar secara resmi.
Namun, proses administrasi yang rumit, kebijakan lokal yang ketat, dan standar kepatuhan yang tinggi masih menjadi kendala besar dan menyulitkan UMKM dalam mengakses pembiayaan formal dan kredit.
Memahami berbagai rintangan regulasi tersebut, pemerintah kini berupaya menyederhanakan kebijakan terkait, khususnya bagi UMKM di sektor manufaktur yang ingin berkembang dan terlibat dalam rantai nilai global.
Tantangan Pembiayaan Perdagangan dan Solusi yang Dapat Diterapkan
Ekosistem pembiayaan perdagangan di Indonesia menghadapi tantangan lebih lanjut di luar akses modal:
- Proses pembiayaan tradisional yang manual dan kurang efisien menyebabkan keterlambatan transaksi.
- Minimnya transparansi meningkatkan risiko adanya permintaan pembiayaan ganda untuk transaksi yang sama.
- Rendahnya literasi digital di kalangan pemilik UMKM dan tenaga kerjanya menimbulkan keraguan dalam mengadopsi teknologi, diperparah oleh keterbatasan sumber daya keuangan. Akibatnya, sejumlah UMKM yang masih mengandalkan model bisnis tradisional dan menganggap transformasi digital tidak relevan bagi pasar mereka.
Namun, beberapa solusi telah muncul untuk mengatasi tantangan ini.
Pemerintah sedang mempertimbangkan sistem registrasi terpusat untuk permintaan pembiayaan perdagangan guna mencegah duplikasi. Di negara-negara yang telah menerapkan solusi serupa, bank melaporkan pengurangan risiko penipuan dan penyederhanaan proses pinjaman.
Selain itu, dengan merubah model pembiayaan rantai pasokan dan menitikberatkan pada arus kas, bukan pada aset, akan membantu UMKM mendapatkan modal kerja melalui piutang dagang.
Dalam aspek teknologi, kemitraan antara bank dan perusahaan fintech yang memanfaatkan blockchain, kecerdasan buatan (AI), dan verifikasi digital akan memperkuat penilaian kredit. Kemajuan di sektor swasta harus diimbangi dengan investasi publik.
Pemerintah Indonesia juga telah meluncurkan berbagai inisiatif, seperti kampanye Go Digital dan Making Indonesia 4.0, untuk mengintegrasikan unsur digital dalam UMKM guna meningkatkan daya saing dan produktivitas.
Indonesia berada di jalur yang tepat menuju pertumbuhan transformasional dalam sektor pembiayaan perdagangan, didorong oleh reformasi kebijakan yang mendukung inovasi dan inklusi. Dengan solusi-solusi yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan lokal, serta dukungan terhadap transformasi digital dan integrasi sistem keuangan, UMKM Indonesia berpotensi tumbuh pesat dalam ekosistem pembiayaan perdagangan yang lebih transparan dan inklusif.
Langkah utama untuk mendukung UMKM adalah memperluas akses ke pembiayaan dan meningkatkan likuiditas. Dengan menciptakan kerangka regulasi yang kondusif, penggunaan teknologi terkini, dan pemaduan kerjasama finansial, Indonesia dapat memimpin inovasi pembiayaan perdagangan di Asia Tenggara, serta membuka peluang untuk pertumbuhan berkelanjutan bagi UMKM.